Minggu, 20 Maret 2011

SEJARAH PEMBERONTAKAN DI INDONESIA

Kesenjangan Pusat dan Daerah
BERBAGAI pergolakan atau pemberontakan yang terjadi di negara Republik Indonesia pada umumnya terjadi karena ketidakpuasan pada pemerintah pusat. Ada kesenjangan antara pusat dan daerah yang cukup mencolok.
Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) misalnya. Semula, gerakan itu tidak tampak berniat ingin menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, pemberontakan itu akhirnya dikenal sebagai “gerakan anti-Jawa”, karena kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Jawa dianggap semakin besar.
Sejak kemerdekaan diproklamasikan 1945, beberapa gerakan atau pemberontakan demi memisahkan diri dari negara kesatuan, terjadi di berbagai daerah, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Indonesia Bagian Timur.
Aceh
Gerakan di Aceh diawali oleh kekecewaan dan keresahan. Setelah likuidasi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Agustus 1950, daerah itu begitu saja dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, mantan Gubernur Militer, Teuku Daud Beureueh, yang sangat berpengaruh di Aceh, tidak diberi jabatan berarti. Tampaknya, pengambilan keputusan oleh pemerintah pusat kurang didasari kepekaan terhadap perasaan
rakyat Aceh. Apalagi ada kebanggaan tersendiri pada masyarakat Aceh, melihat wilayah Serambi Mekah itu suatu bagian republik yang tidak pernah dimasuki penjajah Belanda. Gerakan di Aceh yang dikenal dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan gerakan yang cukup alot. Meskipun pemerintah terus berusaha menyelesaikan masalah GAM ke meja perundingan, namun tidak pernah berhasil.
Terakhir, proses penyelesaian konflik di Aceh dengan jalan damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan GAM berlangsung di Tokyo, Minggu (18/5). Hasilnya, gagal. Maka secara resmi pemerintah Indonesia memberlakukan Keputusan Pemerintah (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003, yang menetapkan seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam keadaan bahaya dengan status darurat militer. Keputusan pemerintahan Presiden Megawati itu merupakan keputusan tegas, dalam upaya agar Aceh tetap berada dalam bingkai negara kesatuan RI.
Keputusan yang sama diambil Presiden Sukarno dalam menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta pada 16 Februari 1958. Ketika Sukarno kembali dari luar negeri menegaskan, PRRI/Permesta harus dihadapi dengan kekerasan senjata. Pemerintahan Megawati mengerahkan sekitar 28.000 personel TNI dan Polri ke Aceh untuk melancarkan operasi terpadu yang meliputi operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, operasi pemulihan pemerintahan, dan operasi pemulihan keamanan. Bagaimana hasil dari opersi di Aceh ini? kita harapkan semoga tidak mempunyai dampak yang menyengsarakan rakyat.

Ketidakpuasan Penciutan Divisi 
Dalam pemeriksaan itu, aparat tidak menemukan anggota GAM. PEMBERONTAKAN PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) merupakan suatu usaha menggalang kesatuan di antara pelbagai kelompok, yang menolak konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme dalam negara dan bangsa Indonesia.
Pergolakan pertama kali terjadi di Sumatera pada akhir 1956. Pada awal 1957, muncul Dewan Banteng di Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan Riau) dipimpin Letkol Ahmad Husein, Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin Kolonel M Simbolon, dan Dewan Garuda di Sumatera Tengah dipimpin Letkol Barlian.
Kesemuanya bergabung dalam PRRI.
Ketiga pemimpin Dewan itu perwira yang memegang komando di wilayah masing-masing. Ketiganya lahir sebagai reaksi terhadap situasi bangsa dan negara ketika itu. Awal pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan Riau) terjadi menjelang pembentukan RIS pada 1949. Penciutan Divisi Banteng pada Oktober 1949 menjadi satu brigade terdiri atas batalyon-batalyon besar di Sumatera Tengah, mengakibatkan sejumlah prajurit terpaksa pulang ke kampung halaman, membawa kesedihan dan rasa terhina. Selain itu, pembangunan di Sumatera Tengah terasa sangat lamban dan menghadapi banyak masalah. Jalan-jalan yang menghubungkan daerah pedalaman rusak berat. Tidak ada jalan baru yang menghubungkan kota provinsi dengan wilayah pedesaan.
Ahmad Husein, yang dikenal kehebatannya pada masa perang kemerdekaan melawan Belanda, dengan “Pasukan Harimau Kuranji”-nya yang sangat ditakuti musuh, tidak senang melihat penciutan eks Divisi Banteng. Ia, yang dilahirkan di Padang, 1 April 1925, juga pulang kampung.
Keadaan itu menggugah hati sejumlah perwira bekas Divisi Banteng yang masih berdinas, serta menggugah pelbagai tokoh politik dan swasta yang pernah bergabung dengan Divisi Banteng. Keprihatinan itu melahirkan gagasan mencari penyelesaian dengan mengadakan pertemuan pada 21 September 1956 di kompleks Perfilman Persari milik Jamaluddin Malik di Jakarta. Hadir 123 orang, di antaranya Ahmad Husein. Pertemuan berikut, reuni di Padang pada 11 Oktober 1956.
Menyusul pertemuan lainnya di Aceh, Medan, dan Palembang. Bergabung ke dalam jajaran panitia, Kolonel Ismet Lengah, Kolonel Dahlan Djambek, dan Kolonel M Simbolon. Sebagai orang yang sangat disegani karena kesediaannya mempertaruhkan jabatan dan karier demi perkembangan daerah, Ahmad Husein mudah mengumpulkan banyak orang. Ia menjalin kerja sama dengan pemuka adat, pemuka agama, pemerintah daerah, dan anggota masyarakat lainnya. Reuni Divisi Banteng di antaranya menelurkan keputusan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan negara, terutama perbaikan progresif di tubuh angkatan darat. Di antaranya, dengan menetapkan pejabat-pejabat daerah yang jujur dan kreatif.
Keputusan lain, menuntut agar diberi otonomi luas untuk daerah Sumatera Tengah, serta menuntut ditetapkannya eks Divisi Banteng Sumatera Tengah yang diciutkan menjadi kesatuan pelaksana proklamasi, sebagai satu korps dalam angkatan darat.
Dewan Perjuangan
PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui Kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI membentuk kabinet baru, Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI), yang antara lain terdiri atas Syarifuddin Prawiranegara (Perdana Menteri dan Menteri Keuangan), M Simbolon (Menteri Luar Negeri), Burhanuddin Harahap (Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman), Dr Sumitro Djojohadikusumo (Menteri Perhubungan/Pelayaran). Pembentukan Dewan Kabinet itu berlangsung ketika Soekarno berada di luar negeri.
Sekembali ke Indonesia, 16 Februari 1958 ia mengatakan, “Kita harus menghadapi penyelewengan tanggal 15 Februaru 1958 di Padang dengan segala kekuatan yang ada pada kita”. Ia memutuskan menggunakan kekerasan senjata untuk menghadapi kekuatan Dewan Kabinet PRRI.
Pada 22 Desember 1956 melalui RRI Medan, Kolonel Simbolon mengumumkan pemutusan hubungan wilayah Bukit Barisan dengan pemerintahan pusat. Ia mengubah nama Kodam TT I menjadi Kodam TT I Bukit Barisan. Sama halnya dengan Ahmad Husein, ia melihat sejak 1950 – 1956, masalah kesejahteraan prajurit serta dana operasi militer menjadi masalah.
Gaji prajurit sangat minim. Yang lebih mendesak, perbaikan perumahan dan asrama prajurit, karena asrama prajurit umumnya bekas asrama tentara Belanda dan bekas barak kuli kontrak di zaman penjajahan.
Simbolon nekat mencari jalan sendiri membangun asrama dan perumahan prajurit. Ia mencari dana dengan menjual hasil perkebunan di wilayah Sumatera Utara. Ekspor hasil perkebunan dijual secara rahasia melalui Teluk Nibung di muara Sungai Asahan Tanjung Balai. Namun, pers Ibukota memberitakan penyelundupan itu dan Kasad memerintahkan memeriksa kasus itu. Kasad pun bermaksud menggantikan Panglima TT I Bukit Barisan dengan Kolonel Lubis.
Melihat situasi yang “gawat”, Simbolon mengadakan rapat perwira yang disebut “Ikrar 4 Desember 1956.” Pada 27 Desember 1956 subuh, Simbolon menerima berita ada pasukan yang diperintahkan menangkapnya. Dalam situasi seperti itu, ia hanya bisa mengandalkan satu Batalyon 132 yang dipimpin Kapten Sinta Pohan di Medan, yang tetap setia kepadanya. Melalui pertimbangan matang Simbolon memutuskan bergerak ke daerah Tapanuli, ke Resimen III Mayor J Samosir, yang juga bisa diandalkannya. Tindakan itu diambilnya karena kalau bertahan di kota, pasti akan terjadi pertempuran dan yang paling menderita adalah rakyat sipil. Ia kemudian ke Padang, mengikuti kegiatan Dewan Banteng.
Di Sumatera Selatan, Dewan Garuda menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tokoh-tokoh militer di wilayah itu, menjelang Musyawarah Nasional September 1957, yang melahirkan Piagam Palembang sebagai landasan perjuangan bersama dari daerah-daerah bergolak. Namun sejak awal terlihat tanda-tanda keretakan dalam tubuh Dewan Garuda. Ketidakkompakan itu disebabkan tokoh-tokoh militer tetap berhubungan dengan Kasad, sehingga segala perkembangan Dewan Garuda dapat diketahui Jakarta.
Dewan Garuda bersifat mendua. Satu pihak lebih dekat ke Dewan Banteng, ke pihak Ahmad Husein, pihak lain lebih dekat dengan Jakarta. Pada saat Dewan Perjuangan membentuk PRRI, Sumatera Selatan mengambil jalan berbeda dengan Dewan Banteng dan Permesta. Ketika terjadi konflik senjata antara PRRI dan Jakarta, Letkol Barlian mengadakan rapat dan mempengaruhi perwiranya tidak mengikuti Padang. Rupanya, pada saat itu Kolonel dr Ibnu Sutowo berhasil mempengaruhi Barlian untuk tidak bergabung dengan PRRI.
Ketidakpuasan Rasionalisasi
DUA tokoh dalam pergolakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), yang paling menentukan dalam melahirkan gerakan pembangunan semesta Indonesia Timur adalah Letkol HN (Ventje) Sumual dan Letkol M Saleh Lahade. Mereka dijuluki “Dwitunggal Permesta”.
Pada 2 Maret 1957, sekitar 49 tokoh dan dua wartawan berkumpul di Kantor Gubernur Makassar untuk mengesahkan piagam yang telah disusun panitia.
Keseluruhan yang hadir menandatangani Piagam Perjuangan Semesta yang dibacakan Letkol Saleh Lahade.
Di Sulawesi Utara (Sulut) Mayor JD Somba enggambarkan keadaan di Sulawesi Utara, terutama menyangkut soal ekonomi dan keuangan. Di wilayah itu, sejak 1 Maret 1957, usaha penduduk berupa hasil bumi kopra, sudah dua bulan tidak dibayar pemerintah, Stok kopra dua bulan tidak diangkut karena kesulitan transportasi. Gaji-gaji pegawai dua bulan tidak dibayar, termasuk gaji pegawai di Poso.
Gambaran kehidupan di wilayah itu semakin suram. Pemerintah berutang. Hasil kopra rakyat hanya dibayar dengan semacam kertas bon. Petani tidak mempunyai uang untuk membeli bahan makanan. Untuk itu Permesta Sulawesi Utara berusaha menyehatkan sektor ekonomi dan mengambil kebijakan untuk menghapuskan monopoli.
Di Sulawesi Selatan, pemberontakan Kahar Muzakar berlangsung bertahun-tahun. Muzakar yang pernah memimpin pasukan Sulawesi Selatan ke Yogyakarta pada masa perang kemerdekaan, menyeberang kembali ke Sulawesi Selatan, karena ketidakpuasannya kepada pemerintah yang menetapkan rasionalisasi pada
pasukannya. Prajurit yang masih bisa dikaryakan ditampung sementara di Corps Tjadangan Nasional, dan yang tidak memenuhi syarat dikembalikan ke masyarakat.
Pemberontakan Kahar Muzakar sejak 1951 itu akhirnya berhasil ditumpas pada Februari 1965. Suatu pasukan Yon 350 Kujang, Siliwangi, berhasil menewaskan Kahar Muzakar. Penangkapan Menghadapi pemberontakan-pemberontakan mulai dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Presiden Soekarno yang kembali dari luar negeri memerintahkan penangkapan tokoh-tokoh PRRI seperti Syafruddin Prawiranegara
(Perdana Menteri dan Menteri Keuangan), Burhanuddin Harahap (Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman), dan Soemitro Djojohadikusumo (Menteri Perhubungan dan Pelayaran). Kasad pun memecat Letkol Ahmad Husein dari Dewan Banteng di Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan Riau) dan Kolonel M Simbolon dari Dewan Gajah di Sumatera Utara.
Hubungan darat maupun udara dengan Sumatera Tengah dihentikan. Bung Hatta sebagai Wakil Presiden, muncul ke depan. Ia mengirimkan utusan ke Padang untuk menemui Ahmad Husein, dan meminta agar Dewan Banteng menghindari konflik senjata. Tetapi, sayang kurir itu tidak sampai di tempat. Hatta mendekati Soekarno untuk mencegah perang saudara, namun usahanya disalahgunakan media massa tertentu. Usaha Hatta pun gagal. Pada 20 dan 21 Februari 1958, pesawat tempur AURI mengebom kota Padang. Ahmad Husein berseru kepada rakyat agar mendukung PRRI.
Pada sisi lain, pada 20 Mei 1958 Kasad memerintahkan penangkapan M Saleh Lahade dan semua tokoh Permesta di Makassar. Selain Saleh Lahade, ditangkap juga Mochtar Lintang, Anwar Bey, Nazaruddin Rachmat, Kaligis, Bing Latumahina, dan Dr OE Engelen. Mereka ditahan di Madiun dan Jakarta. Sementara itu, di Minahasa rombongan Sumual yang tengah membeli senjata di Manila, mendengar pernyataan Dewan Perjuangan PRRI. Sumual mengirim kawat kepada Somba untuk menunggu keputusannya sebab ia memerlukan waktu untuk berhubungan dengan tokoh-tokoh Sulawesi Selatan.
Somba menyatakan dukungannya kepada PRRI, dan memutuskan hubungan dengan Kabinet Djuanda.
Kasad pun memerintahkan untuk menangkap Letkol Somba, Mayor Dolf Runturambi, Gubernur Manoppo, serta Jan Torar. Sumual masih menjalankan strategi melancarkan tekanan-tekanan kepada Jakarta
agar mau berunding dengan PRRI. Dengan senjata dan pesawat tempur yang dibelinya, ia berniat mengebom tangki-tangki bensin di Surabaya, Bandung, Semarang, dan Jakarta. Ia merencanakan mendaratkan pasukan di Cilincing Jakarta, untuk menekan kabinet agar mau berunding dengan PRRI.
Sumual merasa mendapat dukungan Balikpapan (Hartoyo), Bandjarmasin (Kol Hasan Basri, Ketua Dewan Lampung Mangkurat), yang menyediakan bandara untuk lepas landas pesawat tempur pengebom. Sumual merencanakan serangan mendadak ke Jakarta pada saat pasukan pusat sedang memusatkan perhatian ke Indonesia Timur dan Sumatera Tengah. Perang antara pusat dan pemberontak PRRI maupun Permesta pada 1958 sampai 1961 sungguh dahsyat. Daerah bergolak dengan hanya berkekuatan beberapa batalyon, dibandingkan dengan pasukan pusat yang puluhan batalyon, infantri khusus, angkatan darat, angkatan laut, dan dan angkatan udara. Dan, menurut Panglima Wirabuana HN Sumual, perjuangan Permesta mulanya tidak diawali niat memberontak atau menghancurkan dan melepaskan diri dari negara
kesatuan RI.
Demikian juga yang dikemukakan PRRI atau Dewan Banteng, Dewan Gajah dan Dewan Garuda. Dalam banyak tulisan, peristiwa PRRI/Permesta didasarkan pada protes adanya kesenjangan pembangunan yang mencolok antara pemerintahan pusat dan daerah.

1 komentar: